“Tuntutlah
ilmu walaupun di negeri cina”, demikianlah satu dari pepatah arab yang
menyerukan manusia dalam membekali dirinya dengan ilmu. Pendidikan merupakan
kebutuhan setiap manusia. Dengan pendidikan, seseorang akan sampai pada harapan
dan impian yang membuatnya hidup untuk selamanya. Namun disisi lain, pendidikan
pulalah yang mampu menghantarkan seseorang pada jebakan dunia yang mampu
membuatnya jatuh dan terperangkap pada lubang yang Dalam yang tak satupun
diantara ilmunya mampu menyelamatkannya. Keberadaan mahasiswa diarahkan pada
perubahan pola pikir dan cara pandang yang luas dalam melihat realita kehidupan
dalam konteks kekinian sehingga mereka diharapkan mampu melakukan pembacaan
serta menentukan arah dan gerakan yang akan dibangun setelah itu. Hal ini
tentunya membutuhkan bagaimana kemudian pendidikan mampu membangun cara
berfikir dan menelaah setiap realitas yang Nampak. Itu bisa terjadi melalui
cara dosen memberikan pelajaran kepada mahasiswanya. Inilah yang selama ini
kurang dilirik dalam setiap pengambilan keputusan dalam menentukan kualifikasi
dosen yang akan mengajar pada setiap kampus karena menurut saya selama ini
dosen hanya mampu melakukan transfer ilmu tetapi dia tidak mampu melakukan
transfer nilai. Bagaiamana mungkin seorang mahasiswa bisa menjadi orang
disiplin dan beretika sementara osen pancasilanya saja sering terlambat dan
menghukum dengan alasan malas masuk kuliah, diperparah lagoi oleh dosen yang
terkadang tidak masuk dengan alasan yang sangat tidak rasional bagi seorang
dosen yang mengaku sebagai kaum terdidik.
Hal demikian terkadang menginginkan kehidupan yang bebas dan
tidak terkekang dengan berbagai aturan. Sampai-sampai karena kuatnya keinginan
ini mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama, sebab mereka menganggap
agama sebagai belenggu semata. Meskipun faktanya, kebebasan yang tanpa batas
mustahil terwujud di dunia ini. Karena perbuatan yang dilakukan oleh manusia
sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu, sehingga ketika seseorang
meninggalkan norma-norma agama otomatis dia akan terjerumus mengikuti aturan
hawa nafsunya yang dikendalikan oleh setan, dan ini merupakan sumber malapetaka
terbesar bagi dirinya. Karena hawa nafsu manusia selalu menggiring kepada
keburukan dan kerusakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya
nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Rabbku” (QS Yusuf:53)
Pendidikan dan
Moralitas
Kesadaran akan pentingnya pendidikan
bagi manusia sepertinya belum bergeser hingga abad ini. Sebagai bukti kesadaran
tersebut, dapat kita lihat dimana banyaknya siswa-siswi yang jatuh pingsan
setelah mereka mendengar pengumuman dan dinyatakan bahwa dirinya tidak lulus
ujian akhir, jatuhnya mereka dapat dipahami karena mereka tidak lagi memiliki
kesempatan untuk menimbah ilmu pada jenjang yang lebih tinggi, harapan mereka
untuk menyandang status mahasiswa pupuslah sudah.Mahasiswa yang merupakan
gabungan dari dua kata yaitu maha dan siswa, maha dalam kamus bahasa indonesi
berarti ter,lebih atau paling. Oleh karena itu, beruntunglah kita semua yang
bias meraih status maha tersebut.
Realitas kehidupan diera modern
telah terjadi dikotomi antara pendidikan dan moralitas. Orang yang
pendidikannya tinggi belum tentu mempunyai etika, akhlak dan moralitas yang
baik. Malah banyak fakta di lapangan membuktikan betapa banyak orang yang
berpendidikan tinggi memiliki kelakuan yang melanggar nilai-nilai kehidupan
(agama dan moralitas). Artinya bahwa di era globalisasi ini, ilmu tak lagi
mampu menghantarkan pada pemahaman agama dengan baik yang sdapat terwujud
melalui terjaganya akhlak dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari.
Keterpisahan pendidikan dari agama
tidak terlepas dari cara pandang kita dalam menentukan orientasi pendidikan.
Dimana orientasi pendidikan telah diletakkan pada capital dan status. Orang
berlomba-lomba menuntut ilmu setinggi-tingginya pada lembaga pendidikan formal
yang ada sekalipun dengan cara KKN dengan harapan bahwa ia bias mengembalikan
capital yang lebih banyak.
Hal inilah yang seharusnya menjadi
perhatian dan dijawab oleh orang-orang yang memiliki kesempatan mengenyam
pendidikan lebih tinggi dengan mengembalikan agama sebagai orientasi pendidikan
kita. Adapun capital dan status diletakkan sebagai efek yang dihasilkan dari
orientasi tersebut. Dengan cara ini maka tidak ada lagi dikotomi antara
pendidikan dan agama dan orang yang berijazah tinggi akan mempunyai etika dan
moralitas yang baik pula dalam kesehariannya.
Proses Islamisasi
kampus dengan Jilbab
Hal lain yang nampak adalah adanya upaya
Islamisai kampus dengan menjadikan jilbab sebagai slogan keberislaman kampus
tersebut. Bukan berarti saya mengajak kita untuk menolak atau mendukung program
tersebut, menerima atau menolak, sepakat atau tidak, itu adalah pilihan anda
secara personal, namun pilihan itu harus punya landasan yang rasional sebab
kita adalah mahasiswa yang dianggap sebagai kaum terpelajar dan rasional.
Setidaknya kita bersikap menerima atau menolak dengan landasan pemikiran yang
filosofis yang dapat memperkuat pendirian dalam menguatkan diri serta
meyakinkan orang lain.
Betulkah
jilbab dapat dijadikan patokan sebagai kampus yang islami?.
Inilah pertanyaan yangf muncul dengan kebijakan tyang sedikit memaksa menurut
saya. Maka jangan mempertanyakan kepada mhasiswi yang berpakaian setengah badan
masuk kampus alias mahasiswi yang berpakaian dan berjilbab modis yang tidaj
mengandung spirit relijius dimana mereka berjilbab bukan karena keyakinan
melainkan karena system yang mengikat dan sedikit memaksa. Saya bukanlah
paranormal tetapi yakin saja jika mereka ditanya tentang kebijakan tersebut
maka mereka akan menjawab untuk tidak setuju. Ini merupaka hokum kausalitas
yang memang harus terjadi, munculnya ide dengan menjadikan jilbab sebagai
lambing islamisasi kampus karena menjalarmnya dekadensi moral yang sudah
semakin sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Lalu bagaimana system pendidikan bias membangun
cara berfikir yang bermoral?. Ini dapat terbangun dari bagaimana seorang dosen
mengajar anak didiknya, inilah yang terkadang disepelekan dalam mengambil
kebijakan dengan memakai jasa dosen yang tak jelas datangnya dari mana, tak
jelas ideologinya, tak jelas tingkahnya yang tentunya akan berimplikasi pada
cara pandang mahaiswa itu sendiri.
Dari sini kita bias lihat bahwa
pendikan, islamisasi kampus haruslah diselaraskan dengan kebebasan dan
moralitas dimana kebebasan adalah gambaran dari sebuah sikap dewasa yang
sesungguhnya yang nantinya akan bermuara pada perbaikan system dan niali budaya
yang menjunjung tinggi nilai- nilai moralitas. Sehingga apa yang dikatakan
dalam Al-qur’an “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab:59) dijadikan sebagai
landasan para pejilbab dalam memakainya bukan karena sistemnya.
Billahi Fiisabilil haq, fastabiqul
khaerat.
3 komentar:
Menyimak...
(Tawwa... ada yang punya blog baru) :)
hmmmm.. blog baru
wah... keren kanda.... ajari donk,,,
Posting Komentar